Senin
31 Oktober 2016 adalah kali kedelapan saya dan kawan-kawan PM-B kuliah filsafat
ilmu bertempat
di ruang 1.13 Gedung Baru Pascasarjana pukul 15.30 - 17.10 WIB yang dihadiri
oleh 22 mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Matematika kelas B dengan dosen
pengampu Prof. Dr. Marsigit, MA. Berbeda dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya,
pada pertemuan kali ini beliau menyampaikan materi tentang sejarah filsafat dari
awal sampai akhir zaman dengan metode ekpositori, beliau menulis di papan tulis
kemudian menjelaskan maksud dari tulisan tersebut. Berikut penjelasan singkat
tentang sejarah filsafat dari awal sampai akhir zaman.
Seperti yang kita ketahui bahwa filsafat
itu memiliki arti “olah pikir” yang obyeknya berupa yang ADA dan MUNGKIN ADA. Segala
sesuatu yang ADA hanya terdapat di dalam pikiran, sedangkan segala sesuatu yang
MUNGKIN ADA tersebut terdapat di luar pikiran. Di dalam dan luar pikiran
tersebut masing-masing memiliki sifat yang jumlahnya tidak akan pernah bisa selesai
untuk dijelaskan. Dalam berfilsafat terdapat 2 masalah di dalamnya yaitu yang
pertama adalah bagaimana menjelaskan apa yang ada di dalam pikiran, maka
sebenar-benarnya diri kita adalah tidak akan pernah mampu menjelaskan yang ADA
di dalam pikiran kita. Kemudian untuk masalah yang kedua adalah bagaimana
mengerti obyek filsafat yang ada di luar pikiran.
Segala sesuatu yang berada di dalam
pikiran itu bersifat idealis, tokoh dari aliran idealisisme ini adalah Plato, sedangkan
yang berada di luar pikiran bersifat realis, dimana tokohnya adalah Aristoteles
yang kemudian melahirkan aliran realisisme. Segala sesuatu yang berada di dalam
pikiran itu bersifat tetap (Permenides), sedangkan yang berada di luar pikiran
bersifat berubah (Heraditos). Jadi filsafat itu tergantung obyeknya dimana dan
sifatnya seperti apa.
Sifat yang lain dari yang ADA di dalam
pikiran adalah logis yang kemudian melahirkan aliran logicisme. Kemudian aliran
yang menggunakan ratio disebut dengan rationalisme (Rene Descartes). Sedangkan
sifat yang lain dari yang MUNGKIN ADA di luar pikiran adalah empiris yang
melahirkan aliran empirisisme (D. Hume). Jadi filsafat itu terus mengalir
seperti kehidupan. Sifat di atasnya untuk obyek filsafat yang ada di dalam
pikiran berupa prinsip, sedangkan yang ada di luar pikiran berupa bayangan.
Prinsip itu bersifat identitas, dimana artinya adalah 1 itu sama dengan 1 jika masih
di dalam pikiran. Sedangkan jika sudah berada di luar pikiran sifat tersebut
akan berubah menjadi kontradikisi dimana artinya 1 tidak sama dengan 1 karena 1 yang
kiri lebih dulu ditulis daripada 1 kanan, karena jika sudah di luar pikiran
segala sesuatu akan terikat oleh ruang dan waktu. Semua yang kita lihat ini
merupakan hasil dari bayangan pikiran kita, termasuk kata-kata yang kita
ucapkan, semua yang kita dengarkan dan lain sebagainya. Maka obyek filsafat
yang ada di luar pikiran itu berupa sebuah persepsi yang dihasilkan oleh
pancaindera. Segala obyek filsafat yang dapat dipersepsikan oleh pancaindera
merupakan bayangan dari pikiran. Sehingga menurut Immanuel Kant bahwa dunia ini
terdiri dari 2 prinsip yaitu identitas dan kontradiksi.
Jika kita lihat lebih atas lagi maka
sifat obyek filsafat yang ada di dalam pikiran adalah transenden yang melahirkan
aliran transendentalisme, kemudian naik lagi menjadi sifat absolut diperolehlah
aliran filsafa absolutisme. Naik lagi menjadi sifat spiritual yang melahirkan
aliran filsafat spiritualisme. Dalam sifat spiritualisme ini hanya memiliki
satu hakekat, yang kemudian disebut dengan monoisme yaitu tentang kekuasaan
Tuhan. Hidup di dunia ini ada kalanya kita naik ke atas dan ada kalanya kita
turun ke bawah. Hidup ini haruslah melakukan hermeneutika antara pikiran, hati,
doa dan pengalaman.
Jika yang di dalam pikiran bersifat
monoisme, maka obyek filsafat yang ada di luar pikiran bersifat pluralisme.
Maka hakekat di dunia adalah hakekat yang plural, akan bersifat kontradiksi
jika di dunia ini hanya ada satu agama atau aliran saja. Di dalam pikiran
dikenal juga dengan istilah “causa-prima” yang artinya adalah sebab utama dan
sebab pertama yaitu Tuhan. Di dalam pikiran juga bersifat analitik yang artinya
konsisten, maka kebenaran konsisten itu bersifat koheren. Sedangkan kenyataan
bersifat sintetik yang artinya bahwa kehidupan ini bersifat kontradiksi, maka
kebenarannya akan bersifat cocok dengan persepsi yang kemudian akan
menghasilkan filsafat korespondensialisme. Pengalaman bersifat “a posteriori”
yang artinya adalah ia paham setelah dipersepsi (dilihat, didengar, diraba,
dirasakan, dan lain sebagainya). Sebagai manusia kita tidak hanya membutuhkan
“a priori saja” tetapi kita juga membutuhkan “a priori” yang artinya paham
walau hanya melalui logika.
Berabad-abad lamanya terjadi
pertentangan antara tokoh-tokoh tersebut, mereka menganggap bahwa pemikiran
merekalah yang paling benar, sehingga pada abad itu dikenal dengan abad gelap.
Sampai akhirnya Rene Descartes mencetuskan suatu aliran filsafat yang disebut
dengan rationalisme dan mengatakan bahwa “tiada ilmu jika tiada ratio”.
Sebaliknya D. Hume mencetuskan aliran empirisisme dan mengatakan bahwa “tiada
ilmu jika tiada pengalaman”. Pada abad gelap sekitar 13 abad lamanya negara di
Eropa membuat peraturan bahwa tidak boleh satu orang pun menentang kebenaran
kecuali atas restu gereja. Barang siapa berani menentang maka orang tersebut
akan dihukum, kalau perlu dihukum mati. Tokoh-tokoh yang menyuarakan kebenaran
atas diri sendiri dan tidak sejalan dengan gereja akan dikejar-kejar dan
dibunuh. Apapun dari A sampai Z, dari yang ADA sampai yang MUNGKIN ADA, yang
dapat dirasakan di dunia ini apapun itu yang namanya kebenaran harus melalui
gereja.
Sampai akhirnya lahirlah revolusi
Copernicus, dia membuat buku yang bertentangan dengan kebenaran gereja. Namun
buku itu dibaca setelah ia meninggal oleh pengikut-pengikutnya, salah satunya
adalah Galileo Galilei, Bruner, dan sebagainya yang pada akhirnya para pengikut
Copernicus tersebut dihukum mati oleh orang-orang gereja dengan cara dibakar.
Di dalam bukunya, Copernicus menentang pendapat-pendapat gereja yang salah satunya
adalah tentang geosentris yang berpendapat bahwa pusat dari alam semesta ini
adalah bumi. Gereja meyakini bahwa matahari, bulan, bintan, dan benda langit
lainnya berputar mengelilingi bumi. Copernicus sangat menentang pendapat
geosentris, melainkan heliosentris yaitu bahwa sebenar-benar yang terjadi bahwa
bukanlah alam semesta yang mengelilingi bumi melainkan bumi, bulan, dan
planet-planet lainnya bersama-sama mengelilingi matahari sebagai pusat tata
surya. Sampai sekarang, pendapat dari Copernicus tersebutlah yang masih berlaku
dan dianggap benar bahwa matahari merupakan pusat tata surya.
Sampai akhirnya sampailah pada zaman
modern dimana pada saat itu sekitar tahun 1671 muncullah seorang juru damai yang
disebut dengan Immanuel Kant. Ia membuat
buku yang sangat terkenal yang judulnya adalah “The Critique of Pure Reason” dan “The Critique of Practical Reason“. Di
dalam bukunya tersebut Immanuel Kant tidak hanya mengkritik namun ia juga
mendamaikan antara pendapat dari Rene Descartes tentang rationalismenya yang
bersifat analitik apriori dan D. Hume tentang pentingnya pengalaman yang
bersifat sintetik aposteriori, maka Immanuel Kant berpendapat bahwa
sebenar-benarnya ilmu adalah sintetik apriori yaitu pikiran yang bisa
diterapkan dan pengalaman yang bisa diteorikan.
Lalu ilmu itu terus berkembang sampai
akhirnya ilmu itu bersifat formal di dalam pikiran. Formal dalam bidang
matematika dicetuskan oleh Hilbert, yang kemudian melahirkan aliran
Hilbertianisme dan akhirnya muncul ilmu-ilmu dasar tentang bidang. Kemudian di
dalam pikiran, obyek filsafat itu bersifat humaniora (geistes weisen saften),
sedangkan obyek yang ada di luar pikiran bersifat natural yang aliran
filsafatnya disebut dengan naturalisme (natur weisen saften). Kemudian pada
tahun 1857 muncul seorang tokoh yang bernama Aguste Comte, ia mencetuskan bahwa
yang penting pada kehidupan ini adalah kenyataan bahkan ia percaya bahwa agama
itu tidaklah logis. Maka untuk membangun dunia ia meletakkan agama di tempat
yang paling bawah, hanya dianggap sebagai tradisi. Dan yang paling tinggi
adalah positive (saintifik). Jadi kalau kita ingin membangun dunia, Aguste
Comte meletakkan psitive pada tingkat pertama, kemudian di bawahnya adalah
filsafat, dan yang paling bawah adalah agama.
Struktur di Indonesia dimulai dari
tingkat yang paling bawah adalah materi, kemudian formal, lalu normatif, dan
tingkat yang paling tinggi adalah spiritual. Sedangkan sekarang muncul fenomena
kontemporer yang strukturnya dimulai dari paling bawah adalah archaic, kemudian
tribal, lalu traditional. Oleh kontemporer, semua agama masuk ke dalam tiga
tingkatan tersebut. Kemudian di atas traditional adalah feodal, kemudian
modern, dan di tingkat yang paling atas adalah pos modern. Salah satu tokoh
dari aliran kontemporer ini adalah Stephen Hawking. Ia berkata bahwa penciptaan
alam semesta itu tidak ada urusannya dengan Tuhan.
Aliran kontemporer ini memiliki pilar
yaitu kapitalisme, paragmatisme, materialisme, utilitarianisme, liberalisme dan
hedonisme. Sekarang ini kita hidup dalam
dunia kontemporer, kita seperti seekor ikan kecil di laut selatan, belajar
filsafat itu artinya ingin merasakan air laut itu mana yang masih bersih, mana
yang sudah tercemar karena polutan, dan sebagainya. Jadi dalam belajar
filsafat, kita ini diumpamakan seperti ikan kecil di laut selatan yang ingin
mengidentifikasi sumber air yang ada di laut itu berasal darimana, apakah dari
air gunung merapi, apakah dari gunung himalaya, apakah dari Beijing, apakah
dari pegunungan Jerman, dan seterusnya.
Jika semuanya itu diteruskan muncul
filsafat, tergantung obyek fikirnya dikembangkan. Kemudian muncul politik
pendidikan, yang memiliki prinsip filsafat, lalu ideologi, kemudian paradigma,
yang di bawahnya lagi adalah model, lalu notion, kemudian semboyan, dan yang
terakhir adalah stigma. Jadi prinsip itu bisadiumpamakan seperti resep hidup
dari implementasinya. Secara sadar maupun tidak sadar, kita telah
diimplementasikan oleh suatu yang berstruktur berhirarki atau suatu sistem
tertentu pada level tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas komentar anda. :)